Rabu, 02 Mei 2012

Dibalik Kematian Nike Ardilla

 

Pasti tahu kan Nike Ardilla…….. artis cantik yang meninggal dalam usia yang tergolong masih belia. Di usia yang belum genap 20 tahun ia meninggal karena kecelakaan tragis. (baca juga : Nike Ardilla the most favorite artist diblog ini. Ya Tepatnya Minggu, 19 Maret 1995 ketika berita itu menyentakkan Indonesia pada umumnya. Berita itu begitu mengagetkan hampir seluruh nusantara. Dan tanpa di komando, setiap stasiun radio memutar lagu-lagu Nike Ardilla. Kepergiannya kala itu sangat tidak terduga, dimana ia masih membintangi Sinetron di stasiun TV swasta.
Begitu banyak yang kehilangan Nike Ardilla. Begitu banyak yang meratapi kepergiannya yang tragis. Hari Minggu yang kelabu telah menjemputnya kembali ke pangkuanNya. Kerabat, sahabat sesama artis, penggemar turut berbondong-bondong mengantarkan ke KeharibaanNya. Nike Ardilla pergi dengan penuh tanda tanya, pergi meninggalkan segala kenangan yang telah terukir sepanjang hidupnya. Bintang Kehidupan itu telah pergiuntuk selama-lamanya dan tak akan pernah kembali.
Sebenarnya ini bukan untuk mengingatkan kembali akan kenangan lama, akan tetapi Nike Ardilla sosok yang satu ini memang menarik untuk dikupas. Era slow rockkini telah berlalu setelah lahirnya grup-grup band di tanah air. Pelan-pelan era slow rock mulai tergantikan dengan eranya grup band yang lebih banyak mengusung musik alternatif. Akan tetapi lagu-lagu Nike Ardilla masih mengisi hati para penggemarnya. Lagu-lagunya telah mengisi hati penggemarnya, ia memiliki tempat tersendiri di hati penggemarnya.
Tidak hanya lagu, tapi segala pernak perniktentang Nike Ardilla sampai saat ini masih beredar diantara para penggemar baik yang tergabung dalam Nike Ardilla Fans Club(NAFC) suatu wadah bagi para penggemar Nike Ardilla, maupun penggemar diluar NAFC. Peredaran tersebut bisa dalam bentuk barter, maupun juga komersil. Komersil dapat pula diartikan menjual barang-barang/pernak pernik Nike Ardilla sampai dengan menjual untuk kepentingan pribadi. Sebenarnya itu sah-sah aja asal jangan sampai memperkaya diri dengan memanfaatkan situasi yang ada.
Dibalik Kematian Sang Bintang Kehidupan
Dibalik kematian Nike Ardilla ternyata menyisakan banyak sekali kenangan, harapan dan juga keyakinan akan hari depan. Tidak berlebihan apabila penulis mengungkapkan demikian, karena di balik kematiannya yang tragis memang telah menimbulkan suatu fenomena tersendiri. In death she soard………. Ya dalam kematian Nike Ardilla justru makin bersinar. Fansnya juga bertambah banyak. Hal ini tentu memberikan berkah tersendiri baik itu fans tersendiri maupun bagi pihak label yang menaungi Nike Ardilla, karena dengan demikian baik kaset, CD maupun VCD yang dikeluarkan oleh pihak label masih bisa dinikmati dan dibeli minimal oleh para penggemarnya.
Nike Ardilla sosok yang tidak hanya dikenal publik Indonesia, akan tetapi juga di Malaysia. Angka penjualan kasetnya masih tinggi di Malaysia. Manjadi kebanggaan tersendiri, karena tidak banyak artis yang dikenal justru setelah kematiannya. Dan tidak bisa dipungkiri pula bahwa setelah 13 tahun kematiannya, Nike Ardilla masih mengisi hati penggemarnya.
Kepergiannya meninggalkan harapan bagi sebagian fansnya yang yang kadang-kadang bertingkah seolah-olah mirip Nike Ardilla, atau bahkan sebagian dari kisah para fans Nike Ardilla yang sempat penulis temui mengatakan bahwa ada yangmelihat kemunculannya. Walaupun mungkin itu hanya halusinasi saja, karena yang sudah meninggal tak mungkin kembali.
Di Bawah Bayang-bayang nama Nike Ardilla
Pasca kematian Nike Ardilla yang begitu fenomenal, memberikan sentuhan tersendiri. Bermunculannya artis-artis yang mendompleng nama besar Nike Ardilla membuktikan bahwa Nike Ardilla adalah sosok artis yang patut di perhitungkan. Betapa tidak, tidak sedikit artis yang ingin mengikuti jejaknya. Sebut saja Lia Nathalia, Elisa, dan yang terakhir muncul adalah Dike Ardilla yang ikut ambil bagian dibawah bayang-bayang nama besar Nike Ardilla.

LIA NATHALIA
Lia Nathalia dulunya adalah ketua NAFC Jakarta, yang kemudian ikut ambil bagian dalam dunia tarik suara. Lia sempat di harapkan menjadi pengganti Nike Ardilla, kareana disamping ia fans sejati Nike Ardilla yang cukup fanatik. Dibawah asuhan Adjie Esa Putra, Lia nathalia berhasil mengeluarkan album perdana tahun 1996 bertajuk Selamat Tinggal Kekasih yang berisi 9 lagu yang kesemuanya terasa sekali nuansa Nike Ardilla didalamnya, nuansa kehilangan sang bintang Nike Ardilla.
Lia nathalia layak disebut pengganti Nike Ardilla andai saja ia eksis dan mampu bertahan melawan selera pasar dengan membawakan lagu-lagu slow rock. Akan tetapi itu tidak bertahan lama. Tahun 1998 Lia kembali mengeluarkan Album Kedua dengan judul Hanya Ada Satu Cinta. Di album ini mungkin kasetnya laku juga karena ia berada dibawah bayang-bayang nike Ardilla. Kemudian disusul tahun 1999 album ke tiga bertajuk Permata hati, album duet bareng Deddy Dores. Setelah itu nama lia nathalia menghilang seiring perjalanan waktu dan Lia masih tetap di kenal bagi sebagian kalangan fans Nike Ardilla, hingga 2007 kembali mengeluarkan album How Much I love You. Lia nathalia mencoba menembus kerasnya pasar, akan tetapi namanya yang sudah terlanjur tenggelam membuat albumnya tidak di kenal bahkan untuk kalangan fans Nike sendiri.
Akan tetapi, meski bagaimana Lia Nathalia tetap bisa diterima dikalangan penggemar Nike Ardilla.
ELISA
Elisa salah satu penyanyi asuhan Deddy Dores yang sempat mengeluarkan satu album. Elisa juga merupakan salah satu fans Nike Ardilla. Pasca kematiannya, banyak sekali lomba-lomba nyanyi dengan lagu-lagu Nike Ardilla yang diselenggarakan baik oleh radio-radio maupun oleh para fans itu sendiri. Sebuah ajang pencarian bakat atau ajang mencari sponsor? Yang jelas saat itu bukan saatnya untuk pencarian bakat, akan tetapi lebih dikarenakan oleh antusiasme masyarakat akan nama besar Nike Ardilla, sehingga perlombaan serupa sering diadakan. Baik karena untuk mengenangnya ataupun hanya sekedar untuk mengingatkan nama Nike Ardilla yang masih eksis.
Dan Elisa adalah satu dari sekian banyak artis hasil dari perlombaan dengan menyanyikan lagu-lagu Nike ardilla yang dianggap mirip dari karakter suara maupun wajahnya juga sedikit mirip kala itu. Album dengan lagu andalannya Cintaku Terbalut Sepi ciptaan Deddy Dores sempat malang melintang diputar di radio-radio kala itu, sehingga mampu memberikan sentuhan yang berbeda dari suara lain sang mega bintang.
Akan tetapi kepopuleran Elisa hanya sekejap, karena ia juga tidak mampu meneruskan tongkat estafet yang diberikan oleh Nike Ardilla. Elisa pun tenggelam.
NAFA URBACH
Nafa Urbach sebenarnya sudah mengeluarkan album sebelum Nike Ardilla meninggal, hanya saja sempat disebut-sebut kalau Nafa di dapuk untuk menggantikan Nike Ardilla oleh para fans dan media kala itu. Memang kala itu charisma Nafa begitu keluar. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, Nafa justru tidak bisa menggantikan Nike Ardilla baik karena cirri khas Nafa berbeda dengan Nike, juga karena jiwa Nafa yang memang berbeda. Bahkan ada yang bilang semenjak berpindahnya Nafa dari Kristen ke Islam kemudian pindah lagi ke Kristen menyebabkan Nafa tidak diperhitungkan lagi, karena ketidakkonsistenannya meskipun itu adalah masalah keyakinan pribadi yang tidak bisa diganggu gugat.
Ini membuktikan Nafa tidak dalam bayang-bayang Nike.

DIKE ARDILLA
Sempat kaget ketika keluar nama Dike Ardilla alias Diana Utami. Dike Ardilla mengukuhkan diri kalau ia bisa menggantikan Nike Ardilla. Memang tidak bisa dipungkiri kehadiran Dike Ardilla sedikit memberi warna yang berbeda dengan karakter suara yang mirip Nike Ardilla, Diana Utami berani memproklamirkan diri sebagai Dike Ardilla. Lewat lagu Salah Sendiri, sekilas orang yang tidak tahu pasti mengira kalau itu suara Nike Ardilla, tapi setelah itu barulah tahu Nike is Nike dan Dike adalah Dike. Jelas ada perbedaan.
Meski mendompleng kebesaran nama Nike Ardilla, Dike Ardilla tidak mampu menggantikan Nike Ardilla dari apapun. Meski karakter vokalnya sama, akan tetapi agaknya fans Nike Ardilla tidak sedikit yang mencerca Dike, tidak sedikit yang merasa tidak suka akan nama Dike yang terkesan mendompleng kebesaran dan ketenaran Nike Ardilla. Walau harus diakui suara Dike juga sebagus Nike akan tetapi karena soal namalah justru Dike Ardilla dewi fortuna belum berpihak padanya. Andai saja ia masih menggunakan nama Diana Utami, bukan tidak mungkin Dike Ardilla akan mampu mendongkrak namanya dan penjualan albumnya. Dike sempat mengeluarkan Album Salah Sendiri, Sinar Dari Langit, Album The Best, dan juga pernah duet dengan Doel Sumbang, akan tetapi namanya tidak meroket.
Sebenarnya Dike layak disebut sebagai pengganti Nike Ardilla andai ia menggunakan nama Diana Utami dan tentu lebih bisa diterima oleh fans fanatik Nike Ardilla dan penjualan albumnya tinggi tanpa harus mendompleng kebesaran nama Nike.
:) :)


Inilah foto-foto Nike Ardilla :) :)

Kamis, 15 Maret 2012

Nicky Astria: Lengking Kehidupan Nicky Astria (Bagian 6)

 
 

PERKAWINAN PENUH KERIKIL

DUA PERKAWINAN YANG GAGAL

Di tahun-tahun pertama pernikahan, Nicky dan Mamay menapaki hari-hari bahagia penuh taburan bunga. Sebagai artis, rumah tangga Nicky tergolong adem ayem dan jauh dari gosip. Buah cinta pun lahir satu demi satu. Putri pertama mereka, Zana Zhobita Arhetusa (Obiet), lahir 5 Januari 1994. Disusul Hana Amedea (Oniel), pada 6 September 1998.

Entah kenapa, tiba-tiba prahara itu akhirnya datang juga. Menurut Dicky, ketika mulai terjadi keributan di dalam rumah tangganya, Nicky selalu meminta pertimbangan Dicky. Sebagai kakak, ia selalu menasihati agar Nicky bisa mempertahankan bahtera rumah tangga mereka dengan saling berintrospeksi dan memperbaiki diri. Tapi, ketika Nicky berkali-kali datang dan mengeluh bahwa kehidupan rumah tangga mereka mungkin tidak bisa dipertahankan, Dicky pun menegaskan bahwa ia tak mau ikut campur.

Saat itu, Nicky merasa sangat berdosa kepada almarhum ayahnya. “Saya sangat sedih karena tidak bisa menepati wasiat Daddy. Saya yakin, Daddy pasti tidak akan menyetujui perceraian ini. Saya sangat berdosa karena tidak bisa memegang janji saya di hadapan beliau untuk selalu menjaga nama baik keluarga. Saya merasa gagal,” ujar Nicky, dengan suara lirih.

Setelah bercerai sekian lama dari Mamay, kembali Nicky memperkenalkan seorang pria baru, bernama Hendra Priyadi, pemilik sebuah studio musik, kepada Dicky. Namun, sejak awal Dicky sangat tidak setuju dengan pilihan adiknya itu. “Sikap saya keras saat itu, karena saya tidak ingin ia gagal untuk kedua kali,” tandas Dicky. Toh, ia tidak bisa berbuat apa-apa, karena Nicky bersikeras tetap ingin menikah dengan pria tersebut. Nicky dan Hendra menikah pada 21 Juni 2003.

Prediksi Dicky benar. Pernikahan kedua Nicky kembali gagal, setelah berlangsung sekitar setahun saja. Perpisahan demi perpisahan ini sangat menguras energinya dan nyaris mengempaskannya dalam kehidupan yang memilukan. Selain hampir setiap hari dijadikan bulan-bulanan gosip di berbagai media massa, kariernya pun nyaris tamat karenanya. Inilah saat-saat tersulit dalam kehidupan Nicky. Keluar dari rumah suami dengan hanya menjinjing satu koper baju, Nicky kemudian pergi ke rumah Christine, sahabatnya, yang kini menjadi manajernya, di daerah Kalibata. “Tin, boleh tidak saya tinggal di rumahmu untuk sementara?” pintanya, memelas.

Padahal, Nicky belum terlalu lama mengenal Christine, baru tahun 1998. Usia mereka hampir sama, Christine setahun lebih tua. Saat Nicky bercerai, Christine juga baru bercerai. Anak Christine satu, anak Nicky dua. Selama sekitar 4 bulan tinggal di rumah Christine, banyak kenangan manis dan pahit yang mereka rasakan. Saat itu keduanya sedang dalam keadaan menganggur, sehingga hidup dua janda itu pun jadi kembang-kempis. Suatu hari, kedua anak Nicky minta dibelikan makanan kesukaan mereka. “Ma… beliin McD, dong.”

Padahal, saat itu baik Nicky maupun Christine sama sekali tidak punya uang. Nicky tentu saja sangat bingung, karena ia tidak ingin mengecewakan kedua putrinya itu. Melihat itu, Christine mengambil celengan plastik yang selama ini dipakainya untuk menabung uang recehan logam 500 dan 1.000 rupiah. “Ini saya punya sedikit tabungan. Kalau untuk makan berlima, pasti lebih dari cukup,” ujar Christine, sembari menyodorkan celengannya yang hampir penuh itu.

Dalam keharuan, Nicky pun tersenyum lebar. Keduanya lantas asyik mencungkili uang logam yang berada di tabungan itu dengan lidi. Setelah terkumpul Rp50.000, mereka pun ramai-ramai berangkat ke restoran Mc Donald’s dengan menjinjing kantong plastik berisi uang receh itu.

Memasuki bulan Ramadan, baik Nicky maupun Christine belum juga mendapatkan kegiatan yang mendatangkan uang. Apa boleh buat, kedua janda muda itu pun terpaksa makan sahur dan berbuka hanya dengan bubur. “Karena yang ada di rumah cuma beras, ya, kami pun masak bubur,” papar Christine, tersenyum. “Selama lima hari kami terus-menerus makan bubur, baik saat sahur maupun buka. Ini pengalaman yang sangat memilukan, tapi sangat berkesan,” kenang Nicky, terharu.

DAMAI DI PERKAWINAN KETIGA

Nicky mengakui, karena semasa kecil ia terlalu dimanja, ia tumbuh menjadi orang yang sangat sensitif, mudah tersinggung, dan tidak bisa diperlakukan kasar, apalagi dibentak. Menyadari kekurangannya, Nicky tidak menyalahkan mantan pasangan hidupnya setelah dua kali gagal berumah tangga. “Saya justru berusaha terus-menerus introspeksi diri agar kotoran yang ada di hati saya bisa terus berkurang,” ujarnya.

Nicky sangat bersyukur, di puncak musibah dan kekalutan batin yang mengimpitnya silih berganti, ia masih mampu mengendalikan diri, meski kadang-kadang kepalanya serasa mau pecah. Oleh Ria Sirjono, rekannya, Nicky kemudian diajak ke Padepokan Bapak Toha di Jalan Suryo, Kebayoran Baru. “Dari situlah saya baru menyadari, Allah memang sering ‘menyentuh’ hamba-hamba yang dicintai-Nya melalui berbagai masalah dan cobaan,” tambahnya.

Malam itu Nicky dipertemukan dengan Ustaz Rahmad Hidayat dan Ustaz Arif Kamil. Entah kenapa, batinnya yang semula seperti penuh sesak, tiba-tiba terasa mulai longgar. Meski pernah mengikuti pesantren kilat beberapa kali di masa kecilnya, Nicky mengaku belum pernah mendengar ucapan-ucapan yang begitu menyejukkan. “Nicky, pernahkah kamu menangis dan meneteskan air mata karena merasakan kerinduan dan takut kehilangan anak atau orang-orang terdekatmu?” tutur ustaz itu. “Allah juga punya rasa cemburu. Allah juga ingin dirindukan, ingin dikangeni, dan ingin dicintai, seperti kamu mencintai orang-orang terdekatmu. Karena itu, Allah ‘memanggil’ kamu lewat masalah-masalah itu,” begitu antara lain kalimat yang diucapkan sang ustaz.

Di padepokan ini, Nicky tidak hanya menemukan kembali cinta dari Sang Maha Pencipta. Ia juga dipertemukan dengan Gunanta Afrina, kenalan lamanya yang sudah lama tidak pernah bertemu. Semula Nicky menyikapi pertemuan itu biasa-biasa saja, meski saat itu Gunanta sudah menduda. “Aku tidak tertarik karena usianya jauh lebih muda dibanding aku. Jangankan dengan yang lebih muda, dengan yang seusia saja aku tidak tertarik,” ujar Nicky, yang selalu mengidolakan sosok ayahnya.

Namun, rupanya Tuhan punya kehendak lain. Perlahan-lahan kedua insan ini mulai saling jatuh cinta. Berbeda dari ibu Nicky yang sekali bertemu dengan Gunanta langsung terkesan, Dicky tidak. Sebagai anak tertua yang berperan sebagai pengganti almarhum ayahnya, Dicky tentu tidak ingin adiknya gagal untuk ketiga kali. Saat Gunanta datang ke kantornya dan memohon izin untuk menjalin hubungan lebih dekat dengan Nicky, Dicky bersikap agak keras. Baru setelah berjalan beberapa lama, sikap Dicky mulai mencair, dan akhirnya mau memberi restu.

Nicky dan Gunanta menikah pada 5 Juli 2005. Meski sempat gamang beristrikan artis, kini Gunanta justru merasa sangat bersyukur memiliki Nicky. “Dia itu istri banget. Kalau saya mau berangkat ke kantor, selain menyiapkan pakaian, ia selalu mengantar keberangkatan saya sampai pintu. Setiap pulang ke rumah, dia juga yang membukakan pintu. Dia juga memasak sendiri untuk saya. Dia artis yang sangat tidak artis,” ucap Gunanta, sambil melirik mesra Nicky yang kini tengah hamil 6 bulan.



Tamat
Nicky Astria: Lengking Kehidupan Nicky Astria (Bagian 5)

 
 

PERKAWINAN PENUH KERIKIL

Setelah setahun menjadi penyanyi profesional, meski namanya belum terlalu ngetop, Nicky lulus SMA. Kakaknya, Dicky, menyuruhnya kuliah. Sayangnya, ia tak diterima di perguruan tinggi negeri, sehingga Dicky mendaftarkan adiknya di ABA (Akademi Bahasa Asing) Bandung, jurusan bahasa Inggris. “Yang paling ngotot agar saya kuliah memang Kang Dicky. Dialah yang sibuk mengurus surat-surat dan mendaftarkan saya, sementara saya hanya santai-santai saja di rumah,” ujar Nicky, tertawa.

Tapi, belum setahun kuliah, Nicky harus menghadapi kesibukan lain. Tak lama setelah mendapat penghargaan BASF Award, ia berangkat ke Jerman. Akibatnya, kuliahnya pun kandas di tengah jalan. Tak putus asa, Dicky kembali mendaftarkan adiknya ke kursus jangka pendek di Lembaga Pendidikan Komputer Indonesia-Amerika.

TIGA KEANEHAN NICKY

Dari hari ke hari, kesibukan Nicky pun makin padat, termasuk jadwal manggung-nya. Nicky mengaku, semua itu dibiarkannya saja mengalir begitu saja, tanpa harus didorong atau direm “Sejak dulu saya memang tidak pernah mikirin apakah saya ngetop atau tidak. Yang penting, saya berbuat maksimal,” ucap Nicky.

Memang agak sulit dimengerti, bagaimana seseorang yang behasil mencapai puncak prestasi seperti Nicky, mengaku tidak pernah bekerja keras untuk menggapai prestasi itu. Tetty Kadi, penyanyi tahun 1970-an yang juga berasal dari Bandung, menyentil dan sekaligus memuji kehebatan yuniornya itu. Pelantun lagu Sepanjang Jalan Kenangan itu menyebut tentang Tiga Keanehan Nicky Astria di sebuah tabloid. “Nicky itu orangnya aneh. Dia kan orang Bandung, tapi, kok, tidak pernah manggung di Bandung. Malah di Jawa Timur dia sering banget manggung. Kedua, Nicky punya jam tidur yang teratur, alias tidak pernah begadang atau bangun siang. Mungkin, rocker yang selalu bangun pagi cuma dia. Jadi, tidak sa­lah kalau saya menyebut dia ‘bayi sehat’,” demikian kata Tetty Kadi. Adapun keanehan Nicky yang ketiga adalah dia hanya mau manggung bila diiringi band grass rock
Tetty juga mengenal Nicky sebagai remaja yang punya banyak teman. “Tapi, yang amat menarik dari kepribadiannya, dia orang yang on time. Saya juga kagum pada power vokal Nicky. Sebagai rocker, walaupun harus teriak-teriak, suaranya tetap bening dan nadanya stabil. Selain itu, sebagai pribadi, dia tidak berubah dan tetap rendah hati, meski namanya sudah melejit,” tambah Tetty Kadi.

Tidak hanya Tetty Kadi yang terkesan pada pelantun lagu-lagu Mata-Mata Lelaki, Jerit Anak Manusia, dan Bias Sinar ini. Salah seorang yang ‘jatuh cinta berat’ pada suara Nicky adalah Ian Antono, musisi yang punya andil sangat besar dalam membesarkan nama Nicky. Bersama Areng Widodo, ia menciptakan lagu Jarum Neraka yang berhasil melambungkan nama Nicky. “Rekaman awal saja sudah seperti ini bagusnya, bagaimana kalau sudah sering rekaman?” papar Ian, yang mengenal Nicky sejak usia 16 tahun itu.

Ian tersenyum saat menceritakan pertemuan pertamanya dengan Nicky di tahun 1984. “Saat itu dia masih sangat culun dan polos,” tambahnya. “Penampilannya agak tomboy dan tidak sok pede. Setelah mulai rekaman, saya baru sadar betapa luar biasa bakatnya. Pada rekaman pertama saja vokalnya sudah jadi. Ia punya suara spesifik yang sangat bagus dan mampu menembus nada-nada rendah maupun tinggi dengan sangat prima. Penyanyi wanita pada umumnya, untuk mencapai nada C saja, sudah berat. Tapi, Nicky, sam­pai nada D dan bahkan E sekalipun, vibrasinya tetap bagus. Hebatnya lagi, pada nada rendah pun dia tetap stabil. Rasanya tidak berebihan kalau saya mendaulat Nicky sebagai penyanyi pop rock wanita terhebat yang pernah dimiliki Indonesia,” tutur Ian.

HOBI GONTA-GANTI MOBIL

Sejak lahir hingga awal memasuki bahtera rumah tangga, hidup Nicky memang bersimbah keberuntungan. Ketika kecil dimanja ayah, semasa remaja dipuja penggemar, memasuki masa dewasa bergelimang harta. Berkat hasil penjualan album Jarum Neraka, Nicky mendapat bonus sebuah mobil dari BASF. Itulah mobil pertama yang dimilikinya. Sejak itu, hampir setiap tahun ia berganti mobil, dari yang paling sederhana jenis minibus, hingga mobil mewah model terbaru.

Selain bersuara emas, wajahnya pun enak dipandang. Tak heran bila banyak yang memanfaatkannya sebagai bintang iklan. Belakangan, ia pun ‘dilamar’ oleh Eddy D. Iskandar, novelis dan penulis skenario terkenal di tahun ‘80-an, yang kebetulan tetangganya di Bandung. Nicky diajak main film sebagai pemeran pembantu utama film layar lebar Biarkan Aku Cemburu.

Alhasil, di akhir tahun ‘80-an, Nicky tidak hanya dikenal sebagai penyanyi, tapi juga pemain film dan bintang iklan. Tapi, sebagian besar tawaran main film dan iklan ia tolak. Selain jadwal manggung-nya sangat padat, ia juga merasa kurang sreg dengan peran-peran yang ditawarkan kepadanya. Belakangan, barulah ia bersedia main dalam film teve (SCTV) berjudul Prameswari.

Kesibukan demi kesibukan terus mengimpitnya sampai tahun 2003. Sebagai penyanyi papan atas, semua kesibukan itu tentu membawa berkah bagi dompetnya. Namun, “Saya termasuk orang yang sangat boros,” Nicky berterus terang. “Mungkin, karena almarhum ayah saya tidak pernah mengajari anak-anaknya untuk hidup irit dan efisien. Apalagi, saya dan Kang Dicky persis seperti ayah saya, hobinya menjamu dan mengumpulkan saudara dan teman-teman. Saya sendiri senang mentraktir ke diskotek, kafe, atau restoran. Setiap kali mendapat honor, saya, bersama adik saya, Sacky, biasa mengajak 10-15 orang makan-makan.”

Selain itu, dengan uang yang berlimpah, Nicky tiba-tiba punya hobi baru yang aneh-aneh. Bukan hanya setiap tahun ia berganti mobil baru, mobil-mobil itu pun kemudian ia modifikasi sesuai keinginan dan seleranya. Hobi yang tentu saja memakan biaya yang tidak sedikit. Bukan itu saja. Ada lagi kesukaan Nicky yang tiba-tiba muncul setiap kali dia menghadapi stres. “Setiap kali bete, saya selalu berusaha mencari ‘mangsa’ di rumah,” ujarnya.

Maksudnya, ia akan merapikan rumahnya yang sesungguhnya masih rapi. “Saya akan mencari-cari, apa saja yang saya anggap membosankan. Kalau warna catnya mulai terasa membosankan, langsung saya ganti. Kalau bosan pada perabotan tertentu, langsung saya beli yang baru. Hal ini tidak hanya terjadi sekali dua kali, tapi sering kali saya lakukan,” Nicky berkisah, sambil tertawa.

Untunglah, tidak semua hasil keringatnya itu ludes oleh hobi anehnya yang sering kali tiba-tiba datang itu. Melihat keborosan adiknya itu, Dicky lantas menyuruh Nicky membeli rumah, tanah, atau investasi di bidang lain. Alhasil, saat kembali mendapat honor yang cukup besar, ia pun langsung membeli tanah dan rumah di Bandung. “Semuanya diurus oleh kakak saya. Bahkan, sampai tanda tangan jual-belinya pun kakak saya yang melakukan, karena saat itu saya masih senang main-main. Menjelang saya menikah, rumah dan tanah (sekitar 1.000 meter di daerah Dago) itu saya serahkan kepada Mama. Saat berumah tangga saya hanya bawa mobil,” katanya.

SEMPAT DISANGKA LESBIAN

Suatu hari, semasa ayahnya masih hidup, sang ayah sempat berkata, “Kalau kelak si Teteh (Nicky) sudah 17 tahun, setiap malam Daddy akan memasang lampu yang sangat terang, sehingga ruang tamu dan teras depan rumah kita jadi terang. Biar kalau ada tamu laki-laki yang datang, kita bisa pantau terus. Daddy juga akan siapkan lima anjing khusus untuk menjaga si Teteh. Kalau perlu, begel dan kunci dari baja agar tidak ada yang berani iseng sama si Teteh.”

Sayang, sang ayah tidak sempat menyaksikan putri tercintanya yang cantik itu saat melewati masa-masa remajanya. Kalau saja ia masih hidup, mungkin ia akan mengurungkan niatnya untuk memberikan perlindungan ketat terhadap Nicky. Sebaliknya, Dicky malah khawatir melihat sang adik yang sepertinya tak suka pada anak laki-laki. “Selain sangat tomboy, saya prihatin melihat perkembangannya,” kenang Dicky. Pasalnya, berbeda dari gadis-gadis seusianya, Nicky yang waktu itu sudah lulus SMA, tak pernah ketahuan punya pacar. “Saya jadi agak khawatir dan bertanya-tanya, anak ini normal tidak, sih?”

Nicky bukannya tak menyadari keprihatinan ibu maupun kakak-kakaknya. Ia sendiri mengakui, dalam urusan kewanitaan, ia agak terlambat. Pertama kali mendapat menstruasi saat sudah duduk di kelas 3 SMP. Namun, ia memang belum tertarik pada pria. Ketika hampir semua teman perempuannya di sekolah sudah punya pacar, ia tetap saja jomblo. “Saya bahkan sering diledek oleh teman-teman, jangan-jangan saya ini lesbian,” ujar Nicky, sembari tertawa.

Selain itu, Nicky juga mengaku lebih suka bergaul dengan teman-teman lelaki. “Karena mereka lebih fair dan tidak nyinyir. Kebetulan tubuh saya seperti laki-laki, sangat tomboy! Setiap kali ramai-ramai naik motor keliling kota Bandung, kami boncengan bertiga-tiga. Itu jauh lebih mengasyikkan ketimbang pacaran” .

Tapi, kekhawatiran Dicky akhirnya sirna ketika di tahun 1985, Nicky menjalin hubungan dengan seorang pemuda dari Semarang. Naluri keperempuanannya mendadak muncul. Wajah cantiknya yang selama ini tidak pernah tersaput bedak atau pelembap, mulai diberi warna-warni. Begitu juga bibir dan matanya, kini mulai terjamah lipstik dan eye shadow.

Hubungan dengan pemuda Semarang itu akhirnya tak jelas juntrungan-nya. Tahu-tahu sudah putus. “Saya mungkin haus figur ayah. Seperti ayah, pria ini cerdas dan tidak terlalu banyak omong. Tapi, namanya baru sekali jatuh cinta, ego acapkali men­jadi kendala,“ kenang Nicky, dengan mata menerawang.

Baru beberapa tahun kemudian Dicky melihat adiknya pacaran lagi. Hetty, seorang pemilik salon di Bandung, memperkenalkan Nicky dengan Satria Kamal (Mamay), putra ketiga Solichin GP, mantan gubernur Jawa Barat, yang saat itu menjabat Sesdalopbang (Sekretaris Pengendalian Operasi Pembangunan) RI. Meski keduanya akhirnya berpacaran dan menikah, pada awalnya hubungan mereka agak sedikit alot. Tapi, berkat keuletan Mamay, si Teteh akhirnya menerima cinta tulus Mamay. Dengan buaian alunan kecapi dan degung Sunda, keduanya duduk di pelaminan pada 28 November 1992, saat usia Nicky 25 tahun.


Bersambung
Nicky Astria: Lengking Kehidupan Nicky Astria (Bagian 4)

 
 

LADY ROCKER YANG MELEJIT

LADY ROCKER BARU TELAH LAHIR

Bak sebuah bidak catur, Nicky hanya melakoni saja langkah demi langkah yang dikehendaki oleh sang pemain catur. Saat Bucky mengabarkan bahwa ia akan dikontrak rekaman lagu pop rock, lagi-lagi ia hanya melakoninya sebaik mungkin. Ia menyadari, musik ini sangat ‘jantan’ dan dikenal sebagai musiknya laki-laki. Tidak seperti umumnya para calon bintang yang kegirangan mendapat kesempatan rekaman, Nicky justru menanggapinya dengan biasa-biasa saja.

Ternyata, esok harinya, Nicky langsung diminta menandatangani kontrak rekaman oleh Nugroho, tepatnya pada pertengahan 1984. Saat itu usianya masih 17 tahun. Agar lebih komersial, nama Nicky Nastiti Karya Dewi diubah menjadi Nicky Astria, yang artinya dewi keberuntungan. Album pertama itu berjudul Semua dari Cinta karya Tarida Hutauruk, dan musiknya digarap Jelly Tobing. Di sinilah untuk pertama kalinya ia mengenal langsung orang-orang musik yang dikenal sangat atraktif, antara lain Ian Antono, Titiek Hamzah, dan Dodo Zakaria.

Album perdananya itu memang belum berhasil mengagetkan pasar musik Nusantara. Lagi-lagi Nicky menanggapinya dengan biasa-biasa saja, tak ada kekecewaan sedikit pun. Namun, tampaknya dewi keberuntungan memang tidak ingin jauh-jauh dari diri wanita berbintang Libra ini. Diam-diam ia dilirik oleh perusahaan rekaman lain yang cukup ternama, yaitu Billboard. Memang mengejutkan, karena sebelumnya perusahaan rekaman ini dikenal hanya merekam lagu-lagu asing. “Saya penyanyi Indonesia pertama yang dikontrak perusahaan ini,” papar Nicky, tanpa maksud menyombongkan diri.

Ia pun kembali masuk dapur rekaman, dan lahirlah album Jarum Neraka (1985). Di luar dugaan, album ini meledak, sesuatu yang sangat langka pada pasar lagu-lagu jenis pop rock. Album ini akhirnya berhasil meraih angka penjualan tertinggi dan melambungkan nama Nicky ke jajaran penyanyi pop rock kelas atas.

Kata orang, Nicky memang muncul di saat yang tepat. Euis Darliah meninggalkan tanah air dan menetap di luar negeri, sementara pamor Renny Jayusman dan Sylvia Sarche sudah mulai memudar. Karena itu, pasar musik rock yang tengah lapar itu pun melahap album Nicky. Kebetulan lagu-lagu yang disuguhkan pun memenuhi selera penikmat musik di tanah air. Selanjutnya, Nicky seakan melenggang sendirian sebagai lady rocker. Selain berparas jelita, suaranya pun prima dan penampilannya energik. Tak heran bila nama mojang Bandung ini melesat tak terkendali menuju puncak.

Meski awalnya setengah hati, tanpa disadari, Nicky mulai menemukan kenikmatan dan keasyikan tersendiri saat menyanyi di atas panggung. Selain namanya kerap dielu-elukan penonton, penggemarnya pun mulai menjamur. Puluhan surat datang ke alamat rumahnya setiap hari. Hal yang bisa membuat siapa pun ‘mabuk’. Untunglah, sejak awal Bucky sudah mengingatkan, “Kalau kamu larut dalam gemerlapnya keartisan, pada saat jatuh kamu akan mengalami post power syndrome. Karena itu, kamu harus terus membiasakan diri menjadi orang biasa. Di atas panggung, kamu boleh bersikap sebagai artis. Di luar itu, bersikaplah yang wajar. Ini Indonesia, bukan Amerika!”

Pesan kakaknya ini sangat dipegang oleh Nicky. “Lagi pula, kalau saya harus terus-menerus bersikap sebagai artis, rasanya terlalu berat dan bisa-bisa saya stres sepanjang waktu. Saya tak keberatan bila harus pergi naik angkot atau bus, atau harus mengantre tiket di stasiun atau bandara. Saya masih bisa, kok, menyeberang naik jembatan penyeberangan. Saya bahkan pernah naik ojek bersama suami (pertama) saat pulang nonton sepak bola di Gelora Bung Karno, Senayan. Tidak ada masalah!”

MENYANYI SESUAI MOOD
Lagu Jarum Neraka dan Tangan Setan (keduanya ciptaan Ian Antono dan Areng Widodo) berhasil merajai pasar kaset tahun 1985 –1986. Selain berhasil meraup banyak keuntungan, Nicky pun berhasil meraih berbagai penghargaan. Sejak tahun 1985 hingga 1987, setiap tahun Nicky menyabet BASF Award sebagai Penyanyi Rock Wanita Terbaik. Dari album itu, ia juga berhasil meraih AMI Award. Dari dua albumnya yang dibuat pada tahun 1995 dan 1998, Nicky juga berhasil meraih predikat Penampilan Video Terbaik dan Penyanyi Terpopuler versi majalah musik Populer. Gelar Penyanyi Rock Wanita Terbaik juga diberikan oleh pembaca majalah Gadis selama lima kali berturut-turut (1986-1991).

Tak heran, jadwal manggung-nya tiba-tiba menjadi sangat padat. Ia sudah naik panggung di hampir seluruh kota besar Nusantara. Berbeda dari kebanyakan artis yang sering memanfaatkan masa-masa kejayaan mereka dengan menerima job manggung sebanyak-banyaknya, Nicky justru akan menolak apabila dalam sehari ia harus tampil di tiga-empat tempat sekaligus. “Jujur saja, saya sangat bergantung pada mood kalau mau tampil,” tuturnya. “Biar dibayar sebanyak apa pun, kalau saya tidak mau, ya, tidak mau. Selain itu, dari dulu saya selalu pilih-pilih acara. Saya tidak peduli kalau saya lantas dianggap tidak profesional.”

Selain itu, Nicky juga tidak mau tampil mengisi acara tahun baru, atau, lebih-lebih, menyambut Lebaran. Padahal, bagi sebagian besar artis, acara tahun baru merupakan panen rezeki. “Saya tidak mau acara bersama teman-teman dan keluarga terganggu. Saya memang pernah sekali-dua kali tampil mengisi acara tahun baru, tapi saya justru sangat tidak enjoy. Mungkin, saya dianggap aneh, tapi itulah saya. Saya tidak mau terlalu ngoyo. Tanpa ngoyo pun penghasilan saya sudah lebih dari cukup,” katanya, santai.

Pada awal kariernya, semua kegiatan Nicky diatur oleh kakaknya, Bucky, bersama ibunya. Selain mengatur jadwal rekaman dan manggung, merekalah yang membelanjakan semua keperluan Nicky, baik baju untuk show maupun alat make-up-nya. “Ke mana pun, saya tidak boleh pergi sendirian, harus ditemani salah satu dari mereka,” ujar Nicky, tertawa. Ia baru diizinkan pergi dan mengangkat manajer sendiri saat usianya memasuki 22 tahun. Ia mengangkat Liesda, sahabatnya saat di Bandung, untuk menjadi manajernya. “Tapi, harus dicoba dulu sebulan. Kalau saya dianggap sudah bisa jaga diri, barulah mereka bisa benar-benar melepas saya,” tambahnya.

Ketika masih menetap di Bandung, Nicky memang tidak betah lama-lama tinggal di Jakarta. Karena itu, “Alhamdulillah, sejak dulu saya memang tidak suka bergaul dengan orang yang aneh-aneh. Meski dikenal sebagai rocker yang sering dianggap liar, saya tidak suka merokok, apalagi minum minuman keras atau obat-obatan terlarang,” tegasnya.

Menurut Nicky, keputusannya untuk tidak merokok dan minum minuman keras bukan semata untuk menjaga kesehatan, ‘sok suci’, atau takut pada keluarganya. Apalagi, ayahnya termasuk perokok berat dan semua saudara laki-lakinya juga merokok.

“Alasan sebenarnya, tubuh saya memang tidak bisa ‘bekerja sama’ dengan asap rokok dan alkohol. Saya pernah ikut-ikutan merokok bersama teman, tapi setelah itu bengek (asma, Red) saya langsung kambuh. Saya juga pernah mencicipi minuman keras, karena hampir semua manajer dan teman-teman saya minum. Tapi, baru seteguk saja, wajah saya langsung memerah seperti mau pecah. Tubuh saya betul-betul tidak bisa menikmati itu semua, termasuk obat-obatan terlarang. Alhamdulillah, rupanya Allah melindungi saya dengan cara-Nya sendiri....”           

Bersambung
Nicky Astria: Lengking Kehidupan Nicky Astria (Bagian 3)

 
 

LADY ROCKER YANG MELEJIT

Nicky baru berusia 14 tahun dan duduk di kelas 3 SMP Negeri 13, Bandung, ketika ayahnya dipanggil Tuhan, Juli 1981. Ayahnya berpulang setelah hampir setengah tahun dirawat di rumah sakit akibat komplikasi berbagai penyakit, mulai dari lever, darah tinggi, hingga tifus. Saat mendengar berita duka itu, Nicky baru saja pulang sekolah, dan langsung pingsan berkali-kali. Setiap kali siuman dan mendapati ayahnya terbujur beku dalam balutan kafan, Nicky tidak bisa mengendalikan emosinya. Ia pingsan lagi saat menyaksikan jasad ayah tercintanya dimasukkan ke liang lahat.

TANGIS SEORANG AYAH

Sebagai anak yang paling dekat dan paling disayang, bagi Nicky kepergian ayahnya merupakan pukulan batin yang sangat berat dan menyayat. Padahal, malam sebelumnya ia baru diajak bicara ‘serius’ oleh ayahnya. Pembicaraan itulah yang kemudian menjadi tonggak penting dalam sejarah hidup Nicky selanjutnya.

Malam itu, Nicky kembali menengok ayahnya di ruang ICU. Jam sudah menunjukkan pukul 23.00 lebih. Saat itu, Nicky baru saja pulang dari menyanyi sebagai bintang tamu di sebuah acara di IKIP Negeri Bandung. Nicky menyanyikan lagu Ahmad Albar berjudul Balada Sejuta Wajah. “Saat itulah untuk pertama kalinya saya mendapat honor dari menyanyi. Jumlahnya hanya Rp25.000, tapi saya sangat senang dan bangga,” kenang Nicky, bersemangat.

Dengan wajah sumringah, Nicky menemui ibunya yang tengah duduk di teras ruang ICU. “Mam, saya baru saja menyanyi dan mendapat honor. Tolong uangnya Mami pegang untuk tambahan beli obat Daddy, ya.” Selanjutnya, Nicky menemui ayahnya di ruang ICU dan memberitahukan hal yang sama.

“Kamu menyanyi di mana?” tanya sang ayah.

“Di IKIP, Dad. Saya dapat honor 25 ribu, sudah saya serahkan ke Mami untuk beli obat Daddy,” jawab Nicky, bersemangat.

Kali ini ayahnya tidak menjawab. Sejenak suasana menjadi sangat hening dan tiba-tiba saja sang ayah membalikkan wajahnya membelakangi Nicky. Ternyata, diam-diam ia meneteskan air mata.

“Dad, kenapa menangis?” tanya Nicky dengan polos, sembari memegang tangan ayahnya. Suasana kian haru ketika Nicky yang pada dasarnya cengeng ikutan menangis. “Saya paling tidak tahan melihat orang menangis. Orang lain yang menangis saja, saya bisa ikut menangis, apalagi Daddy,” kenang Nicky.

Nicky tidak tahu, apakah ayahnya menangis karena bahagia atau sedih. Tapi, setelah itu sang ayah berusaha mencairkan suasana. Sambil tersenyum, ia bertanya kepada putrinya, “Kamu ingin menjadi penyanyi, ya?”

“Tidak, Dad. Saya tidak mau jadi penyanyi,” jawab Nicky spontan. Anehnya, sang ayah yang selama ini tidak pernah mengizinkan putrinya jadi penyanyi, kali itu justru mengatakan, “Tidak apa-apa. Daddy tidak keberatan kamu menyanyi.” Karena Nicky hanya terdiam, ayahnya melanjutkan, “Kamu boleh menjadi penyanyi. Tapi, kamu harus bisa menjaga nama baik keluarga.”

Bagi Nicky, ucapan ayahnya itu terdengar sangat menyejukkan, meski tetap tidak menggoyahkan hatinya. Sekalipun ayahnya kini sudah memberi izin, ia tetap tidak ingin menjadi penyanyi beneran. Sebagai anak-anak dan remaja, ia memang merasa bangga menerima berbagai penghargaan untuk bakat menyanyinya. Tapi, sejauh itu Nicky tidak kepikiran memanfaatkan peluang itu untuk menjadi penyanyi profesional. Ia hanya ingin hobi menyanyinya mengalir begitu saja, tanpa ambisi, apalagi target tertentu.

Kematian ayahnya bahkan makin menenggelamkan keinginan Nicky menjadi penyanyi. “Saya tidak pernah ngotot menjadi penyanyi. Saya hanya menjalaninya, dan akhirnya semua mengalir begitu saja sampai sekarang,” tutur Nicky.


JATUH MISKIN
Sejak kecil, Nicky dan saudara-saudaranya dididik dalam hal agama dengan cukup baik, termasuk salat maupun mengaji. “Papa suka mengundang guru mengaji ke rumah atau menyuruh kami mengaji ke masjid,” kata Dicky. “Dulu, di antara kami berlima, Nicky-lah yang paling taat beribadah. Dia sangat rajin mengikuti pesantren kilat di berbagai kota, baik di Jawa Barat, Jawa Tengah, bahkan sampai ke Jawa Timur.”

Nicky maupun Dicky menilai, ayahnya cukup moderat dan demokratis dalam mendidik mereka. Meski selama hidupnya sangat religius, sang ayah tidak langsung memarahi bila ada anaknya yang ketahuan melakukan sesuatu yang dilarang agama. Ayahnya maklum bahwa anak-anak muda saat itu banyak yang merokok dan minum minuman keras.

“Kalau ada di antara kalian yang ingin merokok atau minum alkohol, silakan, nanti Papa temani,” demikian ayahnya selalu berkata kepada semua anaknya. “Tapi, jangan sekali-kali men–curi-curi minum di belakang Papa. Pokoknya, lakukan apa yang ingin kalian lakukan, tapi harus bertanggung jawab dan jangan sembunyi-sembunyi. Ibarat team work, bilang saja apa pun yang ingin kalian katakan. Nanti bisa kita diskusikan bersama-sama.”

Ia juga membebaskan anak-anaknya memilih sekolah apa saja yang mereka inginkan. Ia hanya berpesan, “Kalau ingin hidup sukses, sekolah yang benar dan rajin belajar. Kalau kalian tidak ingin sekolah yang tinggi, tapi tetap ingin meraih sukses, tekuni satu bidang yang memungkinkan kalian meraih prestasi yang setinggi-tingginya. Misalnya, kalau ingin menjadi petenis, jadilah petenis yang hebat, kalau perlu jadi juara nasional atau juara dunia.”
Anehnya, Nicky dan saudara-saudaranya tidak pernah mem–pertanyakan kenapa mereka selalu dilarang menjadi pemusik atau penyanyi. Karena itu, Nicky pun tidak tahu kenapa tiba-tiba ayahnya mengizinkannya menjadi penyanyi. Apakah karena tidak tega, ataukah karena ia akhirnya menyadari bahwa bakat putrinya memang tidak main-main. Pada perjalanan selanjutnya, memang terbukti betapa besar peran Nicky sebagai penyanyi dalam membantu perekonomian keluarganya sepeninggal sang ayah.

Saat Tatang Kosasih meninggal, Dicky baru duduk di tingkat tiga Fakultas Ekonomi Universitas Pajajaran, sementara Nicky belum lulus SMP. Sejak Tatang sakit-sakitan dan akhirnya meninggal, keadaan ekonomi keluarga kian morat-marit. Karena tidak mem–punyai tabungan atau deposito, sedangkan pensiun Tatang hanya pas-pasan, mereka terpaksa menjual barang-barang yang ada di rumah untuk makan dan mencukupi kebutuhan rumah tangga. Setelah menjual mobil, satu demi satu alat musik dan peralatan rumah tangga ikut dijual, sampai akhirnya nyaris habis. Terakhir, rumah mereka yang besar di daerah yang cukup ramai di Bandung itu juga dijual. “Hidup kami benar-benar carut-marut dan mem–prihatinkan sekali,” kenang Dicky, pahit.

Sebagai anak tertua, sepeninggal ayahnya, Dicky pun harus mencari biaya kuliah sendiri. Berbagai cara ia lakukan untuk mencari uang. Selain ngamen dari hotel ke hotel, ia juga pernah menjual baju-baju impor, menjadi kontraktor, dan menjadi sub-agen produk mesin jahit impor. “Alhamdulillah, saya akhirnya berhasil menyelesaikan kuliah,” ujar Dicky, yang kini menjabat sebagai executive director di Mega Kuningan International Town Park, Jakarta.

Sepeninggal ayahnya, Nicky tinggal di rumah neneknya, Romlah, bersama bibinya, Metty. Adik ibunya inilah yang kemudian banyak mewarnai hidup Nicky saat duduk di SMA, terutama dalam hal membimbing etika dan ber-make-up. “Karena semuanya tahu bahwa saya sangat dekat dengan Daddy, mereka sangat menjaga perasaan saya, sehingga saya tidak merasa sendirian,” kenang Nicky.

Keadaan ekonomi keluarga yang kian terpuruk mengharuskan Nicky memanfaatkan bakat menyanyinya untuk ikut memperbaiki kehidupan keluarganya. Dari yang semula hanya iseng-iseng, kini ia harus serius menekuninya. Selain terus menyanyi dari panggung ke panggung, Nicky juga terus didorong oleh Bucky, kakaknya, untuk bisa masuk dapur rekaman. Saat itu Bucky menjadi pembantu lepas majalah Vista yang cukup terkenal. Bucky kemudian menghubungi Denny Sabri, teman dekatnya, yang juga seorang pencari bakat.

Denny pun menganjurkan agar Nicky membuat rekaman lagu rock. “Saat ini rocker wanita sangat sedikit,” kata Denny. Yang tercatat hanya Euis Darliah, Renny Jayusman, dan Sylvia Sarche. Ketika Bucky menyampaikan saran itu kepada adiknya, Nicky sempat sangsi dirinya mampu menyanyikan lagu-lagu rock, karena selama itu tidak pernah mencobanya. Sampai suatu hari, Nicky diminta menyanyi bersama grup band Ronners, asuhan Denny Sabri, dalam acara Rally Rock Jakarta-Bandung di Hotel Kartika Chandra, Jakarta. Itulah pertama kali Nicky menyanyikan lagu rock dengan iringan band rock di atas panggung dan disaksikan banyak penonton.

Rupanya, penampilan ngerock Nicky yang pertama ini menjadi tonggak sejarah kariernya dalam kancah musik di tanah air. Meski agak gamang dan grogi, tanpa ia sadari penampilan pertamanya itu ternyata memikat banyak pengunjung, di antaranya adalah drummer Jelly Tobing dan pengusaha rekaman AMK Record, Nugroho.


Bersambung
http://www.stafaband.info/download-mp3-lagu-nicky_astria.html







Nicky Astria: Lengking Kehidupan Nicky Astria (Bagian 2)

 
 

ROCKER MANJA DAN BOSSY

DILARANG JADI PENYANYI

Masa tugas Tatang Kosasih di Malaysia berakhir pada tahun 1975. Setelah kembali ke Bandung, ia pun kembali bekerja sebagai staf Kanwil Depdiknas Provinsi Jawa Barat. Nicky melanjutkan sekolahnya di kelas 4 SD Negeri Halimun. Selain itu, bakat Nicky sebagai penyanyi juga makin menonjol, lebih-lebih setelah ayahnya membelikan seperangkat alat musik bagi anak-anaknya. Maklum, Tatang dan Andrina dikenal sebagai seniman Sunda. Selain menguasai berbagai seni Sunda, Tatang cukup piawai memainkan gamelan Sunda. Andrina juga dikenal sebagai penari Sunda yang cukup populer.

Di rumah mereka yang cukup besar di Jalan Palasari, Bandung, dua perangkat musik memenuhi ruang tamu keluarga. Seperangkat adalah gamelan Sunda dan seperangkat lain alat musik modern, seperti gitar, organ, piano, dan drum. Wajar saja kalau keempat saudara Nicky akhirnya mampu memainkan kedua jenis alat musik itu
‘Rumah musik’ itu kian hiruk-pikuk manakala teman-teman ayah Nicky atau teman kakak-kakak Nicky datang. Akibatnya, rumah ini tidak pernah sepi dan menjadi tempat ‘ngepos’ banyak seniman Bandung. Di antara para musisi yang sering datang ke rumah itu antara lain, Euis Komariyah, Uum Gumbira, Tati Saleh, Deddy Dores, dan Denny Sabri, seorang pencari bakat.

Oleh ayahnya, Nicky pun didorong untuk mengikuti berbagai festival penyanyi pop tingkat kabupaten/kotamadya dan kemudian tingkat provinsi. Ia juga mengikuti latihan menari tradisional Sunda, dan berhasil menguasai berbagai jenis tarian.

Setiap kali Nicky akan mengikuti festival menyanyi, ayahnya akan memanggilkan dua guru privat ke rumah, yaitu Panji Trisna Senjaya dan Sukaeti Hidayat, yang ditugasi melatih teknik vokal Nicky untuk jenis lagu seriosa dan keroncong. “Saya dulu sangat malas kalau disuruh les nyanyi,” kenang Nicky. “Setiap kali mereka datang, saya sembunyi di kamar. Untunglah, keduanya sangat sabar dan kreatif. Karena hobi saya makan kerupuk dan bakso, maka setiap kali datang, mereka selalu membawakan saya oleh-oleh bakso dan kerupuk, ha...ha...ha....”

Kalau lupa atau tidak sempat membelikan makanan kesukaan Nicky itu, mereka harus siap dengan uang seribuan sebagai iming-iming. “Mau jajan, nggak?” ujar sang guru, sembari mengacung-acungkan uang itu di depan Nicky.

“Nicky memang sangat malas kalau disuruh berlatih vokal,” ujar Panji Trisna. “Karena itu, saya suka marah-marah kalau sedang melatih dia. Saya bilang, ‘Kamu ini jadi mau ikut festival tidak, sih?’ Tapi, dasar anak cengeng, kalau dimarahi dia langsung menangis. Anehnya, meski latihannya malas-malasan, ia selalu meraih juara pertama atau kedua dalam setiap festival di tingkat kabupaten atau provinsi. Saat itu ia selalu bersaing ketat dengan Ruth Sahanaya, yang juga orang Bandung,” lanjutnya.

Ketika masih duduk di SD, Nicky sudah mengikuti Festival Penyanyi Pop Anak-Anak atau lebih dikenal dengan Bintang Kecil. Di awal SMP (SMP Negeri 13), ia mengikuti Festival Penyanyi Pop Tingkat Remaja. Tapi, seperti juga semua saudaranya yang berlatih musik semata-mata untuk hobi, kepada Nicky ayahnya juga selalu mengingatkan dengan tegas, “Daddy tidak mau punya anak menjadi penyanyi. Kamu boleh menyanyi, tapi untuk hobi saja!”

“Meski peralatan musik di rumah lengkap, orang tua kami sama sekali tidak menginginkan kami menjadi musisi maupun penyanyi,” tutur Dicky. “Berulang kali mereka mengingatkan, musik hanyalah untuk pergaulan atau untuk menyalurkan energi, bukan sebagai pekerjaan utama. Sebagai anak, kami lebih dituntut untuk menyelesaikan pendidikan setinggi mungkin.”

Nicky ingat betul betapa ayahnya sangat khawatir ia bakal jadi penyanyi. Namun, Nicky sendiri tidak terusik, karena ia sendiri tidak pernah bercita-cita jadi penyanyi atau jadi orang terkenal. “Meski saat itu saya menyadari punya talenta menyanyi, tidak pernah terpikir sedikit pun untuk mengembangkannya secara serius,” ujar Nicky. Ia justru ingin menjadi dokter atau insinyur. Tapi, setelah lulus SMA (SMA Negeri 7 Bandung) ia justru ingin menjadi penyiar radio agar bisa cepat mendapat uang dan bisa membantu ibunya.

SETAHUN NUNGGAK SPP

Menurut Dicky, alasan kedua orang tuanya menyiapkan semua peralatan musik itu di rumah adalah agar anak-anak mereka tidak banyak main keluar rumah dan kegiatannya bisa dipantau secara langsung. “Jadi, biarpun teman yang datang sampai puluhan orang, Papa-Mama tidak pernah marah atau menegur kami. Bahkan, Mama senang menyiapkan makanan dan minuman untuk teman-teman kami.”

Ternyata, tidak hanya darah seni yang diwariskan kedua orang tuanya kepada Nicky. Ia juga hobi menjamu dan memberi hadiah bagi orang-orang terdekatnya. Akibatnya cukup fatal. Suatu hari Tatang dipanggil ke sekolah Nicky di SMP Negri 13, Bandung, dan diberi tahu oleh pimpinan sekolah bahwa selama setahun Nicky tidak pernah membayar uang SPP (sumbangan pelaksanaan pendidikan). Tentu saja Tatang sangat kaget dan malu. Pasalnya, setiap bulan ia tak pernah lalai memberi uang SPP kepada putrinya.

Berbagai kecemasan menyelimuti hati Tatang. Tapi, sesampai di rumah, semua amarah itu tiba-tiba sirna saat bertemu putri tunggalnya itu. Dengan lemah lembut ia pun bertanya, “Nicky tidak pernah membayar SPP, ya?“ Nicky mengangguk dengan penuh ketakutan. Setelah dipancing-pancing, barulah keluar pengakuannya bahwa uang SPP itu ia gunakan untuk... mentraktir teman-teman sekolahnya!

Menurut Nicky, yang gemar membaca komik-komik ‘putri raja’, seperti Cinderella, Putri Salju, atau karya-karya Hans Christian Andersen, uang itu tidak seluruhnya dipakai untuk mentraktir teman, tapi juga untuk menyewa dan membelikan buku atau barang-barang lain kesukaan teman-temannya. “Saya memang suka sok bossy. Bos biasanya kan suka mentraktir, he...he...he...,” kenangnya, sambil tertawa.

Sebagai remaja, mungkin saat itu ia masih butuh pengakuan. “Tapi, semua itu saya lakukan bukan karena ingin dipuji atau disanjung, melainkan karena saya memang suka melakukannya. Kadang-kadang sekadar ingin menolong teman, atau ingin fun saja. Hampir seperti hobi,” lanjutnya.

Di saat lain, Tatang juga mendapat laporan bahwa Nicky yang baru duduk di kelas 2 SMP, sering bolos sekolah gara-gara malas mengerjakan PR. Meski setiap pagi Nicky mengenakan seragam sekolah, ia tidak pernah pergi ke sekolah. Ia hanya berjalan beberapa ratus meter dari rumahnya dan kemudian pulang kembali ke rumah setelah ayahnya sudah pergi ke kantor dan ibu serta kakak-kakaknya kuliah. Nicky kemudian naik ke bagian atap rumah agar tidak kelihatan orang lain, dan kalau sudah kepanasan baru masuk ke balik plafon. Akibatnya, genting rumahnya sering pecah.

Namun, lama-kelamaan ada juga yang mengetahui kelakuannya, dan melaporkan kepada ayahnya. Sebenarnya, ayahnya tahu bahwa Nicky sering bolos sekolah dan ngumpet di plafon rumah. Namun, lagi-lagi Tatang tidak tega memarahi putri kesayangannya itu. Pada saat makan malam bersama, Tatang menyindir Nicky dengan berkata pada Dicky, “Sepertinya, di rumah kita ini kalau siang sering ada maling yang suka naik ke atap. Tuh, banyak genting yang pecah. Coba besok siang, sekitar pukul 10-11 siang, kamu lihat ke atas plafon. Siapa tahu kamu bisa menangkap malingnya.” Nicky hanya terdiam, ketakutan sekaligus malu. Sejak itu Nicky kapok membolos dan ngumpet di plafon lagi.


Bersambung

Jumat, 09 Maret 2012

LENGKING KEHIDUPAN Nicky Astria  (bagian I)

ROCKER MANJA DAN BOSSY

Suatu hari di tahun 1974, seorang bocah perempuan kelas 3 SD menangis meraung-raung keras sekali di suatu daerah wisata di Bangkok, Thailand. Putri Kepala Sekolah Indonesia di Malaysia itu ngotot minta dibelikan boneka yang sangat besar dan tinggi seperti yang baru saja dibeli salah seorang teman mainnya. Meski sudah dibujuk-bujuk oleh ayahnya, bocah itu terus meronta-ronta, dan malah makin meningkatkan ‘power’ tangisnya. Begitu dahsyat lengkingannya, sehingga beberapa orang di dekatnya terpaksa menutup kuping.

Di pihak lain, sang ayah bersikukuh tidak mau mengabulkan permintaan gadis kecilnya itu. Akhirnya, karena tak mau mengganggu orang lain, sang ayah membawa bocah yang tengah menjerit-jerit itu pulang kembali ke cottage. Setelah meninggalkan makanan dan minuman, sang ayah mengunci si bocah di dalam cottage dan bergabung kembali ke rombongannya, para staf pengajar Sekolah Indonesia di Malaysia berikut keluarga masing-masing.

Ketika sore hari ia kembali ke cottage, bocah perempuan cengeng itu didapati sudah tertidur pulas karena kecapaian menangis. Setelah terbangun bocah itu langsung dipeluk dengan mesra oleh sang ayah. “Kamu tahu tidak, kenapa Daddy tidak mengizinkan kamu membeli boneka itu?” tanya ayahnya. Gadis kecil itu menggeleng dengan sikap malas-malasan. Ayahnya melanjutkan, “Kamu boleh minta apa saja, tapi jangan meniru orang lain!”
Kini, gadis kecil itu sudah menjadi ibu dari dua anak perempuan, yaitu Zana Zhobita Arethusa atau Obiet (12) dan Hana Amedia atau Oniel (7). Dialah Nicky Nastiti Karya Dewi atau lebih dikenal dengan nama Nicky Astria.

DADDY’S GIRL

Nicky mengaku, selama hidup baru kali itulah sekali-kalinya ia dimarahi dan mendapat perlakuan sangat keras dari ayahnya. Sebagai satu-satunya anak perempuan (keempat dari lima bersaudara) dari pasangan Tatang Kosasih Wirahadimaja dan Andrina Heryati, sejak kecil Nicky memang sangat dimanja dan diistimewakan oleh ayahnya. Ia tidak pernah dimarahi, apalagi dipukul.

Meski berbuat kesalahan, mojang Bandung kelahiran 18 Oktober 1967 ini tidak pernah disalahkan. Setiap kali berantem dengan kakak maupun adiknya, Nicky tetap saja dibenarkan dan dibela oleh ayahnya, yang berprofesi sebagai guru sekaligus salah seorang perintis berdirinya SMP Negeri XI Bandung. “Kalau Daddy pulang dan melihat mata saya sembap, maka orang seisi rumah, baik Mama, adik, maupun kakak-kakak, pasti akan langsung dimarahi,” kenang Nicky.

Dicky Nugraha Karya Budi, kakak sulung Nicky, bisa memaklumi perlakuan itu. “Karena Nicky satu-satunya anak perempuan, dia agak diistimewakan oleh Papa dibanding yang lain. Sikap Papa seperti itu tidak membuat anak-anaknya yang lain menjadi iri, karena Papa juga sangat memanjakan kami semua. Hingga saat ini hubungan kami sesama saudara memang sangat dekat,” tutur Dicky.

Nicky mengakui, ia memang lebih dekat dengan ayahnya ketimbang dengan ibunya. Bercerita tentang sang ayah, banyak kenangan manis yang tidak bakal terlupakan olehnya. Setiap hari ayahnya selalu memeluk dan mengelusnya, disertai ucapan-ucapan yang lembut. Hampir semua keinginannya selalu dipenuhi. Kalau pas tidak bisa memenuhi keinginan putrinya, sang ayah akan merayu dan membujuknya sedemikian rupa.

Suatu hari, ketika duduk di SMP, Nicky pernah merajuk kepada ayahnya agar dibelikan sepeda motor bebek. “Dad, sekolahku sekarang kan lumayan jauh, dan semua temanku juga naik motor. Aku juga dibelikan motor, dong, Dad...,” rayu Nicky. Seperti biasa, ayahnya memeluk dan mengelus rambut putrinya. Dengan sikap kebapakan, ayahnya menjawab dengan penuh humor, “Karena Daddy belum punya uang, bagaimana kalau kita beli bebeknya dulu, dan sepeda motornya belakangan?” Alhasil, Nicky malah tertawa terbahak-bahak dan melupakan permintaannya.

Dalam kesempatan lain, ayahnya mengajak Nicky berhumor di meja makan. Saat itu ibu Nicky tengah meneruskan kuliah di akademi seni tari, sehingga terkadang tidak sempat memasak. Padahal, sang ayah tidak mau makan, kalau bukan masakan istrinya. Suatu hari di meja makan hanya tersedia nasi dan sayur angin lompong (sayur pelepah pohon lumbu yang diberi santan).Menyadari putrinya tidak berselera melihat lauk itu, sang ayah lantas mengajak putrinya berkhayal. “Sekarang ini Daddy sedang membayangkan jadi tukang becak yang sudah dua hari tidak makan nasi. Nah, coba kamu bayangkan, dalam kondisi capek dan perut sangat lapar, sayur ini terasa seperti daging ayam kampung. Hmmm… nikmatnya!“ Bagaikan tersihir, Nicky yang semula ogah-ogahan, akhirnya malah ikut lahap menyantap makan siangnya.

SI ONA YANG CENGENG

Nicky kecil juga sangat tomboy. Ia lebih suka bermain dengan teman laki-laki. Jenis-jenis permainan yang ia sukai juga sangat laki-laki, misalnya main layang-layang, kelereng, petak umpet, bahkan sepak bola.

Tahun 1972, Tatang Kosasih diangkat menjadi Kepala Sekolah Indonesia di Kedutaan Besar Indonesia di Malaysia. Nicky yang saat itu baru berusia lima tahun, bersama ibu dan keempat saudaranya (Dicky, Yacky Prayadna Karya Bakti, Bucky Wibawa Karya Guna, dan Sacky Santosa Karya Satya), ikut menetap di negeri jiran itu. Dari segi usia, belum saatnya ia masuk SD, tapi karena di Sekolah Indonesia tidak ada taman kanak-kanak, dan karena dianggap sudah mampu, ia pun dibolehkan masuk SD. Dan, sejak pindah ke Malaysia itu pula, Nicky mengubah panggilannya kepada ayahnya. Dari Papa menjadi Daddy, meniru teman-temannya di sekolah dan di tempat main.

Pindah ke Malaysia, pada awalnya Nicky agak kesulitan berkomuni-kasi dengan teman-temannya yang menggunakan bahasa Indone-sia. Pasalnya, selama di Bandung keluarganya selalu berkomunikasi dalam bahasa Sunda. Karenanya, Nicky sering kali tertawa sendiri kalau mengingat kembali saat awal-awal ia bersekolah di Malaysia. Misalnya, saat gurunya bertanya, “Nicky, tiga tambah tiga sama dengan berapa?”, Nicky pun menjawab lantang, “Genep!”

“Benar, angkanya genap. Tapi, nama angkanya berapa?” tanya gurunya lagi.

“Ya, genep!”

“Betul, hasilnya genap, tapi berapa?”

Karena jengkel dicecar terus-menerus, Nicky pun lari keluar kelas sambil menangis. Ia langsung menuju ke ruang kerja ayahnya. “Dad, tiga ditambah tiga sama dengan genep, ‘kan?”

“Genep itu bahasa Sunda. Bahasa Indonesia-nya enam, Neng,” jawab sang ayah, sembari mengusap air mata putrinya.

Nicky mengakui, semasa kecil ia memang sangat cengeng, sedikit-sedikit menangis. “Kalau menangis lama dan kalau marah suka berteriak-teriak keras sekali,” kenang Dicky. “Karena cengeng itulah, ia sering digoda oleh kakak-kakaknya. Karena matanya sipit, ia suka diledek seperti orang Cina. Karena itu, kami lantas memanggilnya Ona, singkatan dari ‘orang Cina’.”

Meski demikian, ia disayang banyak guru. Salah satunya adalah guru keseniannya, Suhaimi Nasution. Selain senang melihat sikap pede Nicky, Suhaimi merasakan adanya talenta seni suara pada muridnya yang satu ini. Itu sebabnya, beberapa bulan menjelang acara HUT Kemerdekaan RI tahun 1975, Suhaimi menghadap ayah Nicky, meminta izin untuk mengikutkan Nicky dalam tim paduan suara.

“Memangnya anak saya bisa nyanyi? Di rumah, dia itu cengeng sekali, kerjaannya nangis melulu,” kata ayah Nicky, yang malah terheran-heran.

“Betul, Pak. Putri Bapak suaranya bagus.”

Sejak itu, Nicky bersama teman-temannya dilatih menyanyi oleh Suhaimi. Selain itu, di rumah ia terus berlatih sendiri. Saat acara tujuh belasan itu digelar di Gedung Kedutaan RI di Kuala Lumpur, Nicky pun naik panggung untuk pertama kalinya. Bocah yang sebelumnya dikenal sangat manja dan cengeng ini, malam itu mampu membawakan lagu Ibu (biasa dinyanyikan oleh Rano Karno) dengan bagus sekali. “Ibu saya sampai menangis. Selama ini Mama tahunya saya cuma anak manja dan cengeng. Mama tidak mengira bahwa ternyata saya juga bisa menyanyi, di depan para tamu terhormat pula,” kenang Nicky.

Sejak menyadari putrinya ternyata punya bakat menyanyi, sang ayah lantas banyak melibatkan putrinya itu dalam berbagai kegiatan. Nicky juga sering diikutkan dalam kegiatan Kedutaan Indonesia menyambut perayaan-perayaan hari nasional maupun internasional. Selanjutnya, Nicky bahkan diminta untuk menyanyi dalam acara anak-anak di TV Malaysia.


Bersambung
Raden Nike Ratnadilla atau Nike Ardilla (lahir di Bandung, Jawa Barat, 27 Desember 1975 – wafat 19 Maret 1995 dalam umur 19 tahun) adalah penyanyi rock Indonesia. Semasa hidupnya adalah seorang penyanyi paling populer di Indonsia dan menjadi ratu rock atau lady rocker di usia belia. Ia tewas pada 19 Maret 1995 ketika mobil Honda Civic yang dikendarainya menghantam beton di sebuah jalan RE Martadinata di kota Bandung. Ia meninggal dunia disaat popularitasnya sedang memuncak.