| Nicky Astria: Lengking Kehidupan Nicky Astria (Bagian 3) |
|||
|
Nicky baru berusia 14 tahun dan duduk di kelas 3 SMP Negeri 13, Bandung, ketika ayahnya dipanggil Tuhan, Juli 1981. Ayahnya berpulang setelah hampir setengah tahun dirawat di rumah sakit akibat komplikasi berbagai penyakit, mulai dari lever, darah tinggi, hingga tifus. Saat mendengar berita duka itu, Nicky baru saja pulang sekolah, dan langsung pingsan berkali-kali. Setiap kali siuman dan mendapati ayahnya terbujur beku dalam balutan kafan, Nicky tidak bisa mengendalikan emosinya. Ia pingsan lagi saat menyaksikan jasad ayah tercintanya dimasukkan ke liang lahat. TANGIS SEORANG AYAH Sebagai anak yang paling dekat dan paling disayang, bagi Nicky kepergian ayahnya merupakan pukulan batin yang sangat berat dan menyayat. Padahal, malam sebelumnya ia baru diajak bicara ‘serius’ oleh ayahnya. Pembicaraan itulah yang kemudian menjadi tonggak penting dalam sejarah hidup Nicky selanjutnya. Malam itu, Nicky kembali menengok ayahnya di ruang ICU. Jam sudah menunjukkan pukul 23.00 lebih. Saat itu, Nicky baru saja pulang dari menyanyi sebagai bintang tamu di sebuah acara di IKIP Negeri Bandung. Nicky menyanyikan lagu Ahmad Albar berjudul Balada Sejuta Wajah. “Saat itulah untuk pertama kalinya saya mendapat honor dari menyanyi. Jumlahnya hanya Rp25.000, tapi saya sangat senang dan bangga,” kenang Nicky, bersemangat. Dengan wajah sumringah, Nicky menemui ibunya yang tengah duduk di teras ruang ICU. “Mam, saya baru saja menyanyi dan mendapat honor. Tolong uangnya Mami pegang untuk tambahan beli obat Daddy, ya.” Selanjutnya, Nicky menemui ayahnya di ruang ICU dan memberitahukan hal yang sama. “Kamu menyanyi di mana?” tanya sang ayah. “Di IKIP, Dad. Saya dapat honor 25 ribu, sudah saya serahkan ke Mami untuk beli obat Daddy,” jawab Nicky, bersemangat. Kali ini ayahnya tidak menjawab. Sejenak suasana menjadi sangat hening dan tiba-tiba saja sang ayah membalikkan wajahnya membelakangi Nicky. Ternyata, diam-diam ia meneteskan air mata. “Dad, kenapa menangis?” tanya Nicky dengan polos, sembari memegang tangan ayahnya. Suasana kian haru ketika Nicky yang pada dasarnya cengeng ikutan menangis. “Saya paling tidak tahan melihat orang menangis. Orang lain yang menangis saja, saya bisa ikut menangis, apalagi Daddy,” kenang Nicky. Nicky tidak tahu, apakah ayahnya menangis karena bahagia atau sedih. Tapi, setelah itu sang ayah berusaha mencairkan suasana. Sambil tersenyum, ia bertanya kepada putrinya, “Kamu ingin menjadi penyanyi, ya?” “Tidak, Dad. Saya tidak mau jadi penyanyi,” jawab Nicky spontan. Anehnya, sang ayah yang selama ini tidak pernah mengizinkan putrinya jadi penyanyi, kali itu justru mengatakan, “Tidak apa-apa. Daddy tidak keberatan kamu menyanyi.” Karena Nicky hanya terdiam, ayahnya melanjutkan, “Kamu boleh menjadi penyanyi. Tapi, kamu harus bisa menjaga nama baik keluarga.” Bagi Nicky, ucapan ayahnya itu terdengar sangat menyejukkan, meski tetap tidak menggoyahkan hatinya. Sekalipun ayahnya kini sudah memberi izin, ia tetap tidak ingin menjadi penyanyi beneran. Sebagai anak-anak dan remaja, ia memang merasa bangga menerima berbagai penghargaan untuk bakat menyanyinya. Tapi, sejauh itu Nicky tidak kepikiran memanfaatkan peluang itu untuk menjadi penyanyi profesional. Ia hanya ingin hobi menyanyinya mengalir begitu saja, tanpa ambisi, apalagi target tertentu. Kematian ayahnya bahkan makin menenggelamkan keinginan Nicky menjadi penyanyi. “Saya tidak pernah ngotot menjadi penyanyi. Saya hanya menjalaninya, dan akhirnya semua mengalir begitu saja sampai sekarang,” tutur Nicky. JATUH MISKIN Sejak kecil, Nicky dan saudara-saudaranya dididik dalam hal agama dengan cukup baik, termasuk salat maupun mengaji. “Papa suka mengundang guru mengaji ke rumah atau menyuruh kami mengaji ke masjid,” kata Dicky. “Dulu, di antara kami berlima, Nicky-lah yang paling taat beribadah. Dia sangat rajin mengikuti pesantren kilat di berbagai kota, baik di Jawa Barat, Jawa Tengah, bahkan sampai ke Jawa Timur.” Nicky maupun Dicky menilai, ayahnya cukup moderat dan demokratis dalam mendidik mereka. Meski selama hidupnya sangat religius, sang ayah tidak langsung memarahi bila ada anaknya yang ketahuan melakukan sesuatu yang dilarang agama. Ayahnya maklum bahwa anak-anak muda saat itu banyak yang merokok dan minum minuman keras. “Kalau ada di antara kalian yang ingin merokok atau minum alkohol, silakan, nanti Papa temani,” demikian ayahnya selalu berkata kepada semua anaknya. “Tapi, jangan sekali-kali men–curi-curi minum di belakang Papa. Pokoknya, lakukan apa yang ingin kalian lakukan, tapi harus bertanggung jawab dan jangan sembunyi-sembunyi. Ibarat team work, bilang saja apa pun yang ingin kalian katakan. Nanti bisa kita diskusikan bersama-sama.” Ia juga membebaskan anak-anaknya memilih sekolah apa saja yang mereka inginkan. Ia hanya berpesan, “Kalau ingin hidup sukses, sekolah yang benar dan rajin belajar. Kalau kalian tidak ingin sekolah yang tinggi, tapi tetap ingin meraih sukses, tekuni satu bidang yang memungkinkan kalian meraih prestasi yang setinggi-tingginya. Misalnya, kalau ingin menjadi petenis, jadilah petenis yang hebat, kalau perlu jadi juara nasional atau juara dunia.” Anehnya, Nicky dan saudara-saudaranya tidak pernah mem–pertanyakan kenapa mereka selalu dilarang menjadi pemusik atau penyanyi. Karena itu, Nicky pun tidak tahu kenapa tiba-tiba ayahnya mengizinkannya menjadi penyanyi. Apakah karena tidak tega, ataukah karena ia akhirnya menyadari bahwa bakat putrinya memang tidak main-main. Pada perjalanan selanjutnya, memang terbukti betapa besar peran Nicky sebagai penyanyi dalam membantu perekonomian keluarganya sepeninggal sang ayah. Saat Tatang Kosasih meninggal, Dicky baru duduk di tingkat tiga Fakultas Ekonomi Universitas Pajajaran, sementara Nicky belum lulus SMP. Sejak Tatang sakit-sakitan dan akhirnya meninggal, keadaan ekonomi keluarga kian morat-marit. Karena tidak mem–punyai tabungan atau deposito, sedangkan pensiun Tatang hanya pas-pasan, mereka terpaksa menjual barang-barang yang ada di rumah untuk makan dan mencukupi kebutuhan rumah tangga. Setelah menjual mobil, satu demi satu alat musik dan peralatan rumah tangga ikut dijual, sampai akhirnya nyaris habis. Terakhir, rumah mereka yang besar di daerah yang cukup ramai di Bandung itu juga dijual. “Hidup kami benar-benar carut-marut dan mem–prihatinkan sekali,” kenang Dicky, pahit. Sebagai anak tertua, sepeninggal ayahnya, Dicky pun harus mencari biaya kuliah sendiri. Berbagai cara ia lakukan untuk mencari uang. Selain ngamen dari hotel ke hotel, ia juga pernah menjual baju-baju impor, menjadi kontraktor, dan menjadi sub-agen produk mesin jahit impor. “Alhamdulillah, saya akhirnya berhasil menyelesaikan kuliah,” ujar Dicky, yang kini menjabat sebagai executive director di Mega Kuningan International Town Park, Jakarta. Sepeninggal ayahnya, Nicky tinggal di rumah neneknya, Romlah, bersama bibinya, Metty. Adik ibunya inilah yang kemudian banyak mewarnai hidup Nicky saat duduk di SMA, terutama dalam hal membimbing etika dan ber-make-up. “Karena semuanya tahu bahwa saya sangat dekat dengan Daddy, mereka sangat menjaga perasaan saya, sehingga saya tidak merasa sendirian,” kenang Nicky. Keadaan ekonomi keluarga yang kian terpuruk mengharuskan Nicky memanfaatkan bakat menyanyinya untuk ikut memperbaiki kehidupan keluarganya. Dari yang semula hanya iseng-iseng, kini ia harus serius menekuninya. Selain terus menyanyi dari panggung ke panggung, Nicky juga terus didorong oleh Bucky, kakaknya, untuk bisa masuk dapur rekaman. Saat itu Bucky menjadi pembantu lepas majalah Vista yang cukup terkenal. Bucky kemudian menghubungi Denny Sabri, teman dekatnya, yang juga seorang pencari bakat. Denny pun menganjurkan agar Nicky membuat rekaman lagu rock. “Saat ini rocker wanita sangat sedikit,” kata Denny. Yang tercatat hanya Euis Darliah, Renny Jayusman, dan Sylvia Sarche. Ketika Bucky menyampaikan saran itu kepada adiknya, Nicky sempat sangsi dirinya mampu menyanyikan lagu-lagu rock, karena selama itu tidak pernah mencobanya. Sampai suatu hari, Nicky diminta menyanyi bersama grup band Ronners, asuhan Denny Sabri, dalam acara Rally Rock Jakarta-Bandung di Hotel Kartika Chandra, Jakarta. Itulah pertama kali Nicky menyanyikan lagu rock dengan iringan band rock di atas panggung dan disaksikan banyak penonton. Rupanya, penampilan ngerock Nicky yang pertama ini menjadi tonggak sejarah kariernya dalam kancah musik di tanah air. Meski agak gamang dan grogi, tanpa ia sadari penampilan pertamanya itu ternyata memikat banyak pengunjung, di antaranya adalah drummer Jelly Tobing dan pengusaha rekaman AMK Record, Nugroho. Bersambung |
Kamis, 15 Maret 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar