LENGKING KEHIDUPAN Nicky Astria (bagian I)
ROCKER MANJA DAN BOSSY
Suatu hari di tahun 1974, seorang bocah perempuan kelas 3 SD menangis
meraung-raung keras sekali di suatu daerah wisata di Bangkok, Thailand.
Putri Kepala Sekolah Indonesia di Malaysia itu ngotot minta dibelikan
boneka yang sangat besar dan tinggi seperti yang baru saja dibeli salah
seorang teman mainnya. Meski sudah dibujuk-bujuk oleh ayahnya, bocah itu
terus meronta-ronta, dan malah makin meningkatkan ‘power’ tangisnya.
Begitu dahsyat lengkingannya, sehingga beberapa orang di dekatnya
terpaksa menutup kuping.
Di pihak lain, sang ayah bersikukuh tidak mau mengabulkan permintaan
gadis kecilnya itu. Akhirnya, karena tak mau mengganggu orang lain, sang
ayah membawa bocah yang tengah menjerit-jerit itu pulang kembali ke
cottage. Setelah meninggalkan makanan dan minuman, sang ayah mengunci si
bocah di dalam cottage dan bergabung kembali ke rombongannya, para staf
pengajar Sekolah Indonesia di Malaysia berikut keluarga masing-masing.
Ketika sore hari ia kembali ke cottage, bocah perempuan cengeng itu
didapati sudah tertidur pulas karena kecapaian menangis. Setelah
terbangun bocah itu langsung dipeluk dengan mesra oleh sang ayah. “Kamu
tahu tidak, kenapa Daddy tidak mengizinkan kamu membeli boneka itu?”
tanya ayahnya. Gadis kecil itu menggeleng dengan sikap malas-malasan.
Ayahnya melanjutkan, “Kamu boleh minta apa saja, tapi jangan meniru
orang lain!”
Kini, gadis kecil itu sudah menjadi ibu dari dua anak perempuan, yaitu
Zana Zhobita Arethusa atau Obiet (12) dan Hana Amedia atau Oniel (7).
Dialah Nicky Nastiti Karya Dewi atau lebih dikenal dengan nama Nicky
Astria.
DADDY’S GIRL
Nicky mengaku, selama hidup baru kali itulah sekali-kalinya ia dimarahi
dan mendapat perlakuan sangat keras dari ayahnya. Sebagai satu-satunya
anak perempuan (keempat dari lima bersaudara) dari pasangan Tatang
Kosasih Wirahadimaja dan Andrina Heryati, sejak kecil Nicky memang
sangat dimanja dan diistimewakan oleh ayahnya. Ia tidak pernah dimarahi,
apalagi dipukul.
Meski berbuat kesalahan, mojang Bandung kelahiran 18 Oktober 1967 ini
tidak pernah disalahkan. Setiap kali berantem dengan kakak maupun
adiknya, Nicky tetap saja dibenarkan dan dibela oleh ayahnya, yang
berprofesi sebagai guru sekaligus salah seorang perintis berdirinya SMP
Negeri XI Bandung. “Kalau Daddy pulang dan melihat mata saya sembap,
maka orang seisi rumah, baik Mama, adik, maupun kakak-kakak, pasti akan
langsung dimarahi,” kenang Nicky.
Dicky Nugraha Karya Budi, kakak sulung Nicky, bisa memaklumi perlakuan
itu. “Karena Nicky satu-satunya anak perempuan, dia agak diistimewakan
oleh Papa dibanding yang lain. Sikap Papa seperti itu tidak membuat
anak-anaknya yang lain menjadi iri, karena Papa juga sangat memanjakan
kami semua. Hingga saat ini hubungan kami sesama saudara memang sangat
dekat,” tutur Dicky.
Nicky mengakui, ia memang lebih dekat dengan ayahnya ketimbang dengan
ibunya. Bercerita tentang sang ayah, banyak kenangan manis yang tidak
bakal terlupakan olehnya. Setiap hari ayahnya selalu memeluk dan
mengelusnya, disertai ucapan-ucapan yang lembut. Hampir semua
keinginannya selalu dipenuhi. Kalau pas tidak bisa memenuhi keinginan
putrinya, sang ayah akan merayu dan membujuknya sedemikian rupa.
Suatu hari, ketika duduk di SMP, Nicky pernah merajuk kepada ayahnya
agar dibelikan sepeda motor bebek. “Dad, sekolahku sekarang kan lumayan
jauh, dan semua temanku juga naik motor. Aku juga dibelikan motor, dong,
Dad...,” rayu Nicky. Seperti biasa, ayahnya memeluk dan mengelus rambut
putrinya. Dengan sikap kebapakan, ayahnya menjawab dengan penuh humor,
“Karena Daddy belum punya uang, bagaimana kalau kita beli bebeknya dulu,
dan sepeda motornya belakangan?” Alhasil, Nicky malah tertawa
terbahak-bahak dan melupakan permintaannya.
Dalam kesempatan lain, ayahnya mengajak Nicky berhumor di meja makan.
Saat itu ibu Nicky tengah meneruskan kuliah di akademi seni tari,
sehingga terkadang tidak sempat memasak. Padahal, sang ayah tidak mau
makan, kalau bukan masakan istrinya. Suatu hari di meja makan hanya
tersedia nasi dan sayur angin lompong (sayur pelepah pohon lumbu yang
diberi santan).Menyadari putrinya tidak berselera melihat lauk itu, sang
ayah lantas mengajak putrinya berkhayal. “Sekarang ini Daddy sedang
membayangkan jadi tukang becak yang sudah dua hari tidak makan nasi.
Nah, coba kamu bayangkan, dalam kondisi capek dan perut sangat lapar,
sayur ini terasa seperti daging ayam kampung. Hmmm… nikmatnya!“ Bagaikan
tersihir, Nicky yang semula ogah-ogahan, akhirnya malah ikut lahap
menyantap makan siangnya.
SI ONA YANG CENGENG
Nicky kecil juga sangat tomboy. Ia lebih suka bermain dengan teman
laki-laki. Jenis-jenis permainan yang ia sukai juga sangat laki-laki,
misalnya main layang-layang, kelereng, petak umpet, bahkan sepak bola.
Tahun 1972, Tatang Kosasih diangkat menjadi Kepala Sekolah Indonesia di
Kedutaan Besar Indonesia di Malaysia. Nicky yang saat itu baru berusia
lima tahun, bersama ibu dan keempat saudaranya (Dicky, Yacky Prayadna
Karya Bakti, Bucky Wibawa Karya Guna, dan Sacky Santosa Karya Satya),
ikut menetap di negeri jiran itu. Dari segi usia, belum saatnya ia masuk
SD, tapi karena di Sekolah Indonesia tidak ada taman kanak-kanak, dan
karena dianggap sudah mampu, ia pun dibolehkan masuk SD. Dan, sejak
pindah ke Malaysia itu pula, Nicky mengubah panggilannya kepada ayahnya.
Dari Papa menjadi Daddy, meniru teman-temannya di sekolah dan di tempat
main.
Pindah ke Malaysia, pada awalnya Nicky agak kesulitan berkomuni-kasi
dengan teman-temannya yang menggunakan bahasa Indone-sia. Pasalnya,
selama di Bandung keluarganya selalu berkomunikasi dalam bahasa Sunda.
Karenanya, Nicky sering kali tertawa sendiri kalau mengingat kembali
saat awal-awal ia bersekolah di Malaysia. Misalnya, saat gurunya
bertanya, “Nicky, tiga tambah tiga sama dengan berapa?”, Nicky pun
menjawab lantang, “Genep!”
“Benar, angkanya genap. Tapi, nama angkanya berapa?” tanya gurunya lagi.
“Ya, genep!”
“Betul, hasilnya genap, tapi berapa?”
Karena jengkel dicecar terus-menerus, Nicky pun lari keluar kelas sambil
menangis. Ia langsung menuju ke ruang kerja ayahnya. “Dad, tiga
ditambah tiga sama dengan genep, ‘kan?”
“Genep itu bahasa Sunda. Bahasa Indonesia-nya enam, Neng,” jawab sang ayah, sembari mengusap air mata putrinya.
Nicky mengakui, semasa kecil ia memang sangat cengeng, sedikit-sedikit
menangis. “Kalau menangis lama dan kalau marah suka berteriak-teriak
keras sekali,” kenang Dicky. “Karena cengeng itulah, ia sering digoda
oleh kakak-kakaknya. Karena matanya sipit, ia suka diledek seperti orang
Cina. Karena itu, kami lantas memanggilnya Ona, singkatan dari ‘orang
Cina’.”
Meski demikian, ia disayang banyak guru. Salah satunya adalah guru
keseniannya, Suhaimi Nasution. Selain senang melihat sikap pede Nicky,
Suhaimi merasakan adanya talenta seni suara pada muridnya yang satu ini.
Itu sebabnya, beberapa bulan menjelang acara HUT Kemerdekaan RI tahun
1975, Suhaimi menghadap ayah Nicky, meminta izin untuk mengikutkan Nicky
dalam tim paduan suara.
“Memangnya anak saya bisa nyanyi? Di rumah, dia itu cengeng sekali,
kerjaannya nangis melulu,” kata ayah Nicky, yang malah terheran-heran.
“Betul, Pak. Putri Bapak suaranya bagus.”
Sejak itu, Nicky bersama teman-temannya dilatih menyanyi oleh Suhaimi.
Selain itu, di rumah ia terus berlatih sendiri. Saat acara tujuh belasan
itu digelar di Gedung Kedutaan RI di Kuala Lumpur, Nicky pun naik
panggung untuk pertama kalinya. Bocah yang sebelumnya dikenal sangat
manja dan cengeng ini, malam itu mampu membawakan lagu Ibu (biasa
dinyanyikan oleh Rano Karno) dengan bagus sekali. “Ibu saya sampai
menangis. Selama ini Mama tahunya saya cuma anak manja dan cengeng. Mama
tidak mengira bahwa ternyata saya juga bisa menyanyi, di depan para
tamu terhormat pula,” kenang Nicky.
Sejak menyadari putrinya ternyata punya bakat menyanyi, sang ayah lantas
banyak melibatkan putrinya itu dalam berbagai kegiatan. Nicky juga
sering diikutkan dalam kegiatan Kedutaan Indonesia menyambut
perayaan-perayaan hari nasional maupun internasional. Selanjutnya, Nicky
bahkan diminta untuk menyanyi dalam acara anak-anak di TV Malaysia.
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar